PENDIDIKAN KARAKTER DAN IDEALISME
Nelson Mandela dan
Karakternya adalah contoh nyata dalam dunia riil. Dalam diri Mandela terdapat
idealism yg adalah roh dan kebenaran,itulah sebabnya mengapa cita-cita dan
perjuangan Mandela terwujud…!
Dalam The aims of education, A.N.
Whitehead menulis….”siswa itu manusia yg hidup dan tujuan dari pendidikan
adalah memberdayakan dan memanusiakan dirinya.” Dengan kata lain tujuan
pendidikan adalah menjadikan dirinya pribadi yg bermartabat.(beradab,
adil,manusiawi dan sejahtera). Proses belajar itu sendiri belum punya arti
apapun sampai anda melepaskan semua buku pelajaran dan semuanya itu menjelma
menjadi sebuah daya kekuatan untuk kemaslahatan banyak orang.Semuanya akan
bermanfaat, ketika proses pembentukan pribadi dan kognitif menjadi sebuah
kecerdasan yg tidak dibuat-buat bagi suatu “pembenaran”, kecerdasan yg hanya
memenuhi selera pasar sesaat, serta meraup keuntungan sesaat, namun suatu
kecerdasan yg menjadi daya penyembuh penyakit zaman dan kemaslahatan umat
manusia.
Pendidikan karakter dan idealism
adalah dua senyawa yg tak dapat dipisahkan.Output dari pendidikan karakter
adalah idealism. Selama pendidikan karakter belum menghasilkan pribadi yg
ber-anakpanah-kan idealisme, maka jangan pernah berharap bangsa ini dapat
terbebaskan dari keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan pembodohan. Keduanya
(Pendidikan karakter dan idealism) adalah bagaikan roh peziarah yg berjalan
pasti. Founding fathers (para pendiri dan perintis bangsa) adalah orang yg kuat
pada idealismenya.Karakter tanpa idealism adalah pribadi semu atau tak ber-Roh.
Oleh karena itu proses belajar yg terlampau dibebani dg substansi pembelajaran
yg amat banyak, justru dapat menjadikan siswa sbg robot tanpa kepribadian yg
utuh. Sebaliknya mentalitas anak yg terjebak dalam kultur hedonistic (bergaya
hidup mewah) dan konsumeristik serta tak produktif dapat menjadi hambatan serius
bagi anak untuk tumbuh lebih peka dan manusiawi thdp lingkungannya. Dibutuhkan
suasana dan relasi humanis agar pikiran dan hati seorang anak antara di rumah
dan di sekolah lebih manusiawi (punya karakter dan idealism serta menjadi
manusia pekerja).
Pendidikan yg diarahkan pd
pendidikan karakter harus bertumpu pd 4 pilar pokok yakni bagaimana agar siswa
itu tahu dan menerjemahkannya secara baik dan benar (learning to know),
bagaimana agar siswa itu dapat melakukan serta menghayati/mensyukuri hidup dan
rezekinya (learning to do), bagaimana agar siswa itu dapat tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat lain serta
berpikir dan bertindak organisatoris ( Learning.To live together) dan bagaimana
agar siswa itu punya karakter dan idealism/menjadikan dirinya lebih manusiawi
(Learning. To be self). Hal ini sangat perlu, karena menurut penulis fungsi
dasar dari pendidikan adalah konservasi (perlindungan nilai-nilai pribadi dan
masy., media sosialisasi, media transformasi dan sekaligus berbobot politis
karna ingin membentuk watak masa depan bangsa yg baik dan berkualitas.
Dalam sebuah peradaban,
Pendidikan karakter amat dibutuhkan sebagai bentuk warisan budaya bangsa.
Pendidikan Karakter dalam warisan budaya ideal bangsa, terkandung unsure dan
aspek ketrampilan dan kemampuan visual/spasial,verbal/linguistic,
mathematical/logical, bodily/kinestetik, musical/rhitmic,intrapersonal,
naturalis dan existensial (Yang Kuasa). Siapa yang dapat membantah kebenaran
silogisme Aristoteles dan Archimedes atau membantah hukumnya Einstein : MC2 ?
Dalam warisan budaya konteks ke-Indonesia-an,
pendidikan karakter-religiositas ditengarai dapat menjadi alternative dari
pendidikan agama yg didnilai gagal dalam mewujudkan masyarakat yg guyub,
dinamis dan demokratis dalam keberagaman. Faktanya, keberagaman sering dipakai
para politisi untuk mengamankan jabatannya tanpa peduli dan sadar pd sesuatu yg
substansial. Pendidikan agama dinilai bersifat simbolik, ritualistic dan
legal-formalis, hanya mengolah aspek kognitif dan mengabaikan afeksi dan
psikomotor siswa. Maka muncul gejala komunalis-me (pengelompokkan), menganggap
musuh bagi yg lain dan pola pikir kalah menang (coordinat dan subordinat
minded). Hal ini terjadi dimana-mana dan dapat dilakukan oleh siapapun,dari
golongan manapun. Siswa seharusnya tidak hanya menjadi ber-Agama (having a
religion), tetapi juga harus ber-Iman (being religious) karena memperhatikan
tujuan, konteks, pengalaman, refleksi aksi dan evaluasi, serta sungguh-sungguh
menempatkan keberagaman sebagai sesuatu yg luhur dan agung….!