Laman

Selasa, 13 November 2012

Pendidikan Karakter dan Idealisme


PENDIDIKAN KARAKTER DAN IDEALISME 


Nelson Mandela dan Karakternya adalah contoh nyata dalam dunia riil. Dalam diri Mandela terdapat idealism yg adalah roh dan kebenaran,itulah sebabnya mengapa cita-cita dan perjuangan Mandela terwujud…!

Dalam The aims of education, A.N. Whitehead menulis….”siswa itu manusia yg hidup dan tujuan dari pendidikan adalah memberdayakan dan memanusiakan dirinya.” Dengan kata lain tujuan pendidikan adalah menjadikan dirinya pribadi yg bermartabat.(beradab, adil,manusiawi dan sejahtera). Proses belajar itu sendiri belum punya arti apapun sampai anda melepaskan semua buku pelajaran dan semuanya itu menjelma menjadi sebuah daya kekuatan untuk kemaslahatan banyak orang.Semuanya akan bermanfaat, ketika proses pembentukan pribadi dan kognitif menjadi sebuah kecerdasan yg tidak dibuat-buat bagi suatu “pembenaran”, kecerdasan yg hanya memenuhi selera pasar sesaat, serta meraup keuntungan sesaat, namun suatu kecerdasan yg menjadi daya penyembuh penyakit zaman dan kemaslahatan umat manusia.
Pendidikan karakter dan idealism adalah dua senyawa yg tak dapat dipisahkan.Output dari pendidikan karakter adalah idealism. Selama pendidikan karakter belum menghasilkan pribadi yg ber-anakpanah-kan idealisme, maka jangan pernah berharap bangsa ini dapat terbebaskan dari keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan pembodohan. Keduanya (Pendidikan karakter dan idealism) adalah bagaikan roh peziarah yg berjalan pasti. Founding fathers (para pendiri dan perintis bangsa) adalah orang yg kuat pada idealismenya.Karakter tanpa idealism adalah pribadi semu atau tak ber-Roh. Oleh karena itu proses belajar yg terlampau dibebani dg substansi pembelajaran yg amat banyak, justru dapat menjadikan siswa sbg robot tanpa kepribadian yg utuh. Sebaliknya mentalitas anak yg terjebak dalam kultur hedonistic (bergaya hidup mewah) dan konsumeristik serta tak produktif dapat menjadi hambatan serius bagi anak untuk tumbuh lebih peka dan manusiawi thdp lingkungannya. Dibutuhkan suasana dan relasi humanis agar pikiran dan hati seorang anak antara di rumah dan di sekolah lebih manusiawi (punya karakter dan idealism serta menjadi manusia pekerja).
Pendidikan yg diarahkan pd pendidikan karakter harus bertumpu pd 4 pilar pokok yakni bagaimana agar siswa itu tahu dan menerjemahkannya secara baik dan benar (learning to know), bagaimana agar siswa itu dapat melakukan serta menghayati/mensyukuri hidup dan rezekinya (learning to do), bagaimana agar siswa itu dapat tumbuh dan berkembang bersama  masyarakat lain serta berpikir dan bertindak organisatoris ( Learning.To live together) dan bagaimana agar siswa itu punya karakter dan idealism/menjadikan dirinya lebih manusiawi (Learning. To be self). Hal ini sangat perlu, karena menurut penulis fungsi dasar dari pendidikan adalah konservasi (perlindungan nilai-nilai pribadi dan masy., media sosialisasi, media transformasi dan sekaligus berbobot politis karna ingin membentuk watak masa depan bangsa yg baik dan berkualitas.
 Dalam sebuah peradaban, Pendidikan karakter amat dibutuhkan sebagai bentuk warisan budaya bangsa. Pendidikan Karakter dalam warisan budaya ideal bangsa, terkandung unsure dan aspek ketrampilan dan kemampuan visual/spasial,verbal/linguistic, mathematical/logical, bodily/kinestetik, musical/rhitmic,intrapersonal, naturalis dan existensial (Yang Kuasa). Siapa yang dapat membantah kebenaran silogisme Aristoteles dan Archimedes atau membantah hukumnya Einstein : MC2 ? 

Dalam warisan budaya konteks ke-Indonesia-an, pendidikan karakter-religiositas ditengarai dapat menjadi alternative dari pendidikan agama yg didnilai gagal dalam mewujudkan masyarakat yg guyub, dinamis dan demokratis dalam keberagaman. Faktanya, keberagaman sering dipakai para politisi untuk mengamankan jabatannya tanpa peduli dan sadar pd sesuatu yg substansial. Pendidikan agama dinilai bersifat simbolik, ritualistic dan legal-formalis, hanya mengolah aspek kognitif dan mengabaikan afeksi dan psikomotor siswa. Maka muncul gejala komunalis-me (pengelompokkan), menganggap musuh bagi yg lain dan pola pikir kalah menang (coordinat dan subordinat minded). Hal ini terjadi dimana-mana dan dapat dilakukan oleh siapapun,dari golongan manapun. Siswa seharusnya tidak hanya menjadi ber-Agama (having a religion), tetapi juga harus ber-Iman (being religious) karena memperhatikan tujuan, konteks, pengalaman, refleksi aksi dan evaluasi, serta sungguh-sungguh menempatkan keberagaman sebagai sesuatu yg luhur dan agung….!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar